Biografi PANGERAN DIPONEGORO Lengkap
Minggu, 07 Juni 2015
BIOGRAFI PANGERAN DIPONEGORO
Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta, 11 November 1785. Pangeran
Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830)
melawan pemerintah Hindia-Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang
dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia memberi pengakuan kepada Pangeran
Diponegoro sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973 melalui
Keppres No.87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi juga diberikan oleh Organisasi PBB untuk
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) , pada 21 Juni 2013 yang
menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia
(Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang
dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi
Utara, pada 1832-1833.
Sejarah
Asal-usul Pangeran Diponegoro
Merupakan putra sulung Sultan Hamengkubuwono III, seorang raja
Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan
nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa
ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro
bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak
keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja
mataram dengan alasan ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro lebih tertarik
pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di
Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak
kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah
satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia
3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja
bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro
Riwayat
Perjuangan Pangeran Diponegoro
Perang Diponegoro berawal saat pihak Belanda memasang patok di tanah
milik Diponegoro di desa
Tegalrejo. Beliau muak dengan kelakuan Belanda yang tidak mau menghargai adat
istiadat masyarakat setempat dan juga mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan
pajak.
Sikap Diponegoro yang
menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas
saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir
dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa
Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan
bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah
Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut
bergabung dengan pasukan Diponegoro di
Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Diponegoro ini
didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya
Bupati Gagatan.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah
yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh
puluhan ribu serdadu.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem
benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.
Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.
Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya
menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock
berhasil menjepit pasukan Diponegoro di
Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan
bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap
dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya
di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putera Pangeran
Diponegoro. Pangeran Alip atau Ki Sodewo atau bagus Singlon, Diponingrat,
diponegoro Anom, Pangeran Joned terus melakukan perlawanan walaupun harus
berakhir tragis. Empat Putera Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara
Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewo.
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera
Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrawati. Perjuangan Ki
Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya
(Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak
kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan
oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan
Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang
bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya
bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu
berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda
sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu
terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon
yang artinya penyamaran.
Penangkapan
dan pengasingan
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan.
Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
·
Pada tanggal 20 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan
Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah
Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam
dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de
Kock dari Batavia.
·
Tanggal 28 Maret 1830 Diponegoro menemui
Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan
dan mendesak Diponegoro agar
menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro Tetapi Belanda telah
menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan
ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke
Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
·
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung
Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur
Jenderal Van den Bosch.
·
30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan
istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng,
dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
·
3 Mei 1830 Diponegoro dan
rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di
benteng Amsterdam.
·
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
·
8 Januari 1855 Diponegoro wafat
dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan
Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota
Makassar.